Selasa, 26 Juli 2011

Butha Yadnya


Bhuta Yadnya adalah yadnya yang ditujukan kepada Bhuta Kala yang mengganggu ketentraman hidup manusia. Bagi masyarakat  Hindu bhuta kala ini diyakini sebagai kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang sering menimbulkan gangguan serta bencana, tetapi dengan Bhuta Yadnya ini maka kekuatan-kekuatan  tersebut akan dapat menolong dan melindungi kehidupan manusia.

Adapun tujuan Upacara Bhuta Yadnya adalah disamping untuk memohon kehadapan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) agar beliau memberi kekuatan lahir bathin, juga untuk menyucikan dan menetralisir kekuatan-kekuatan yang bersifat negatif yang disebut bhuta kala tersebut sehingga dapat berfungsi dan berguna bagi kehidupan manusia.
Bhuta Yadnya, pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
  • Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan kecil seperti segehan  dan yang setingkat.
  • Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan sedang (madya) yang disebut "caru".
  • Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar (utama).
a. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil.
Upacara ini di sebut dengan “ Segehan “, dengan lauk pauknya yang sangat sederhana seperti bawang merah, jahe, garam dan lain-lainnya. Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.

b. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang sedang ( madya ).

Tingkatan upacara dalam tingkatan madya ini di sebut dengan “ Caru “.
Pada tingkatan ini selain mempergunakan lauk pauk seperti pada segehan, maka di gunakan pula daging binatang. Banyak jenis binatang yang di gunakan tergantung tingkat dan jenis caru yang di laksanakan. Adapun jenis-jenis caru tersebut adalah Caru ayam berumbun ( dengan satu ekor ayam ), Caru panca sata ( caru yang menggunakan lima ekor ayam yang di sesuaikan dengan arah atau kiblat mata angin ), Caru panca kelud adalah caru yang menggunakan lima ekor ayam di tambah dengan seekor itik atau yang lain sesuai dengan kebutuhan upacara yang di lakukan, dan Caru Rsi Gana.

c. Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang besar ( utama ).
Tingkatan yang utama ini di sebut dengan Tawur misalnya Tawur Kesanga dan Nyepi yang jatuhnya setahun sekali, Panca Wali Krama adalah upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap sepuluh tahun sekali, dan Eka Dasa Rudra yaitu upacara Bhuta Yadnya yang jatuhnya setiap seratus tahun sekali.
Makna banten untuk nyepi:
Banten pejati

Banten dalam agama Hindu adalah bahasa agama. Ajaran suci Veda sabda suci Tuhan itu disampaikan kepada umat dalam berbagai bahasa. Ada yang meggunakan bahasa tulis seperti dalam kitab Veda Samhita disampaikan dengan bahasa Sanskerta, ada disampaikan dengan bahasa lisan. Bahasa lisan ini sesuai dengan bahasa tulisnya.

Setelah di Indonesia disampaikan dengan bahasa Jawa Kuno dan di Bali disampaikan dengan bahasa Bali. Disamping itu Veda juga disampaikan dengan bahasa Mona. Mona artinya diam namun banyak mengandung informasi tentang kebenaran Veda dan bahasa Mona itu adalah banten. Dalam “Lontar Yajña Prakrti” disebutkan:
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana
artinya:
semua jenis banten (upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuana Agung (alam semesta).

Banten Pejati Banten pejati adalah nama Banten atau (upakara), sesajen yang sering dipergunakan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan suatu upacara, dipersaksikan ke hadapan Hyang Widhi dan prabhavaNya.
Dalam “Lontar Tegesing Sarwa Banten”, dinyatakan:
Banten mapiteges pakahyunan, nga; pakahyunane sane jangkep galang
Artinya:
Banten itu adalah buah pemikiran artinya pemikiran yang lengkap dan bersih.

Bila dihayati secara mendalam, banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap yang didasari dengan hati yang tulus dan suci. Mewujudkan banten yang akan dapat disaksikan berwujud indah, rapi, meriah dan unik mengandung simbol, diawali dari pemikiran yang bersih, tulus dan suci. Bentuk banten itu mempunyai makna dan nilai yang tinggi mengandung simbolis filosofis yang mendalam. Banten itu kemudian dipakai untuk menyampaikan rasa cinta, bhakti dan kasih.

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati” mendapat awalan “pa”. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Banten pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña.

Adapun unsur-unsur banten pejati, yaitu:
  1. Daksina
  2. Banten Peras,
  3. Banten Ajuman/Soda
  4. Ketupat Kelanan
  5. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
  6. Pesucian Pesucian
  7. Segehan alit

Sarana yang Lain
  • Daun/Plawa; lambang kesejukan.
  • Bunga; lambang cetusan perasaan
  • Bija; lambang benih-benih kesucian.
  • Air; lambang pawitra, amertha
  • Api; lambang saksi dan pendetanya Yajna.
Ketupat Kelanan Unsur-unsur yang membentuk ketupat kelanan:
Alasnya tamas/taledan atau ceper, kemudian diisi buah, pisang dan kue secukupnya, enam buah ketupat, rerasmen/lauk pauk + 1 butir telor mateng dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan palus/petangas, canang sari. Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

Siapa yang menerima Banten pejati ?
Banten Pejati dihaturkan kepada Sanghyang Catur Loka Phala, yaitu
  • Peras kepada Sanghyang Isvara
  • Daksina kepada Sanghyang Brahma
  • Ketupat kelanan kepada Sanghyang Visnu
  • Ajuman kepada Sanghyang Mahadeva

Penjelasan Bahan Banten Pejati Menurut Lontar Tegesing Sarwa Banten;
Mengenai rerasmen: “ Kacang, nga; ngamedalang pengrasa tunggal, komak, nga; sane kakalih sampun masikian”. Artinya: Kacang-kacangan menyebabkan perasaan itu menjadi menyatu, kacang komak yang berbelah dua itu sudah menyatu. 
Ulam, nga; iwak nga; hebe nga; rawos sane becik rinengo”. Artinya: Ulam atau ikan yang dipakai sarana rerasmen itu sebagai lambang bicara yang baik untuk didengarkan.
Mengenai buah-buahan; “ Sarwa wija, nga; sakalwiring gawe, nga; sana tatiga ngamedalang pangrasa hayu, ngalangin ring kahuripan”. Artinya: Segala jenis buah-buahan merupakan hasil segala perbuatan, yaiyu perbuatan yang tiga macam itu (Tri Kaya Parisudha), menyebabkan perasaan menjadi baik dan dapat memberikan penerangan pada kehidupan.
Mengenai Kue/Jajan: “ Gina, nga; wruh, uli abang putih, nga; lyang apadang, nga; patut ning rama rena. Dodol, nga; pangan, pangening citta satya, Wajik, nga; rasaning sastra, Bantal, nga; phalaning hana nora, satuh, nga; tempani, tiru-tiruan”. Artinya; Gina adalah lambang mengetahui, Uli merah dan Uli putih adalah lambang kegembiraan yang terang, bhakti terhadap guru rupaka/ ayah-ibu, Dodol adalah lambang pikiran menjadi setia, wajik adalah lambang kesenangan mempelajari sastra, Bantal adalah lambang dari hasil yang sungguh-sungguh dan tidak, dan Satuh adalah lambang patut yang ditirukan.
Mengenai bahan porosan: “ Sedah who, nga; hiking mangde hita wasana, ngaraning matut halyus hasanak, makadang mitra, kasih kumasih”. Artinya: Sirih dan pinang itu lambang dari yang membuatnya kesejahteraan/kerahayuan, berawal dari dasar pemikirannya yang baik, cocok dengan keadaanny, bersaudara dalam keluarga, bertetangga dan berkawan

Demikian kupasan banten Pejati baik (upakara) maupun kajian filosofisnya, sehingga dengan pemahaman ini dapat menumbuhkan kesadaran, keyakinan, dan kemantapan umat Hindu dalam membuat dan menghaturkan Banten Pejati dan melaksanakan ajaran agama Hindu yang penuh dengan simbol-simbol, sehingga dapat mengikis dogma “Anak Mula Keto”, di masa yang akan datang.

Segehan
Upacara Bhuta Yadnya dalam tingkatan yang kecil disebut dengan “Segehan“, Sega berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya, lengkap beserta lauk pauknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang, janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.

Jenis-jenis segehan ini bermacam-macam sesuai dengan bentuk dan warna nasi yang di gunakannya. Adapun jenis-jenisnya adalah Segehan Kepel dan Segehan Cacahan, Segehan Agung, Gelar Sanga, Banten Byakala dan Banten Prayascita.

Segehan ini adalah persembahan sehari-hari yang dihaturkan kepada Kala Buchara / Buchari (Bhuta Kala) supaya tidak mengganggu. Penyajiannya diletakkan di bawah / sudut- sudut natar Merajan / Pura atau di halaman rumah dan di gerbang masuk bahkan ke perempatan jalan.

Fungsi segehan ini sebagai aturan terkecil (dari caru) untuk memohon kehadapan Hyang Widhi agar terbina keharmonisan hidup, seluruh umat manusia terhindar dari segala godaan sekala niskala, terutama terhindar dari gangguan para bhuta-kala (Kala Bhucara-Bhucari). Segehan yang besar berbentuk caru.

Warna segehan disesuaikan dengan warna kekuatan simbolis kedudukan di dikpala dari para dewa (Istadewata) yang dihaturi segehan. Pada waktu selesai memasak, dipersembahkan segehan cacahan (jotan, yadnya sesa, nasinya tidak dikepel, tidak dibuat tumpeng) kehadapan Sang Hyang Panca Maha Bhuta. Segehan ini dihaturkan di tempat masak (api), di atas tempat air (apah), di tempat beras (pertiwi), di natah/halaman rumah (teja), dan di tugu penunggu halaman rumah (akasa). Dalam hal ini bahan yang dimasak (nasi, sayur, daging, dan lauk-pauk lainnya) itu diyakini terdiri atas bahan panca mahabhuta. Segehan ini dihaturkan sebagai tanda terima kasih umat terhadap Hyang Widhi karena telah memerintahkan agar para bhuta (panca maha bhuta) membantu manusia sehingga bisa memasak dan menikmati makanan, dapat hidup sehat, segar dan sejahtera.

Ada pula segehan yang dihaturkan di perempatan jalan, di halaman rumah, di luar pintu rumah, dan sebagainya. Itu disebut segehan manca warna, kepel, atau agung. Segehan manca warna ini di timur berupa nasi berwarna putih (Dewa Iswara), di selatan nasi berwarna merah (Dewa Brahma), di barat nasi berwarna kuning (Dewa Mahadewa), di utara nasi berwarna hitam (Dewa Wisnu), dan di tengah-tengah nasi berwarna manca warna atau campuran keempat warna tadi (Dewa Siwa), sesuai dengan kekuatan Istadewata yang berkedudukan di dikpala, di empat penjuru arah mata angin ditambah satu di tengah-tengah.

Dalam “Lontar Carcaning Caru”, penggunaan ekasata (kurban dengan seekor ayam yang berbulu lima jenis warna, di Bali disebut ayam brumbun, yakni: ada unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempat warna tadi) sampai dengan pancasata (kurban dengan lima ekor ayam masing-masing dengan bulu berbeda, yakni unsur putih, kuning, merah, hitam, dan campuran keempatnya, sehingga akhirnya juga menjadi lima warna) ini masih digolongkan segehan **khusus untuk kelengkapan piodalan saja, sehingga memiliki fungsi sebagai runtutan proses piodalan (ayaban atau tatakan piodalan) yang memilki kekuatan sampai datang piodalan berikutnya

Banten daksina
DAKSINA adalah salah satu jenis sarana upacara yang dibuat dengan daun kelapa sehingga menyerupai suatu wadah seperti bakul yang dalam bahasa bali di sebut wakul daksina. Dan didalam wakul ini di isi berbagai macam benda yang merupakan perlengkapan dari daksina tersebut. Jika kita melihat isi dari dasarnya, didalam wakul sebuah daksina selalu dialasi dengan janur yang dirangkai membentuk tanda tambah ( + ) yang disebut dengan Tapak Dara, yang secara berturut-turut diatasnya diisi beras dan kelapa, diatas kelapa diisi dengan kojong yang masing-masing diisi dengan telur, peselan, gantusan, pisang, base tampel tingkih dan pangi, diatas kelapa diisi dengan benang tatebus warna putih. Dan diatasnya ditambahkan dengan canang payasan yang sering juga disebut dengan pasucian/pangresikan. Daksina juga diisi sasari/uang. Daksina secara utuh dalam penggunaannya biasanya dirangkaikan dena jenis upakara yang lain seperti : peras, ajuman dan yang lainnya. Namun daksina juga bisa berdiri sendiri apabila daksina tersebut berfungsi sebagai daksina linggih. Namun biasanya daksina linggih ini ditambahka dengan cili yang bermakna sebagai simbol wajah.

Setiap bahan pelengkap dalam daksina ini mempunyai makna simbolik :

1. Tapak Dara (+) yang berbentuk seperti tanda tambah, merupakan dasar dari lamban agama Hindu yaitu Swastika. Dimana lambang tapak dara ini merupakan simbol dari hubungan yang harmonis secara vertical dan horisontal. Yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan pencipta/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesama manusia dan alam sekitarnya. Karena dengan terjalinnya hubungan yang harmonis tersebut maka kehidupan dapat berjalan dengan seimbang.

2. Beras adalah merupakan sumber pokok kehidupan, dan sebagai simbol benih yaitu benih-benih kehidupan.

3. Kelapa merupakan buah yang serba guna disimbulkan sebagai bumi dan juga sebagai kepala.

4. Telur yang digunakan dalam daksina diusahakan menggunakan telur itik. Mengapa bukan telur ayam saja?. Jika kita melihat dari sifat-sifat yang dimiliki oleh itik, maka itik dapat kita kelompokkan dalam jenis makhluk yang tergolong memiliki sifat satwam. Sedangkan ayam dapat dikelompokkan dalam jenis makhluk yang memiliki sifat rajas. Itik digolongkan memiliki sifat satwam karena, itik bisa memilah-milah makanan. Walaupun makanannya itu ada didalam Lumpur. Sehingga itik selalu di identikkan dengan binatang yang memiliki sifat satwam berkat kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan ayam dikatakan memiliki sifat rajas, karena ayam ini bersifat aktif dan sering dijadikan ajang sabungan yaitu sabungan ayam. Bukan sabungan itik. Karena itulah telur itik yang digunakan dalam daksina. Telur itik disini mengantarkan jiwa yang suci, karena itik mampu memilih makanan yang bisa atau yang tidak bisa dimakan, itik juga sangat rukun dengan sesamanya dan dapat menyesuaikan hidupnya baik di darat, air dan juga udara

5.
Peselan. Pesela ini terdiri dari lima jenis dedaunan yang mewakili lima warna yaitu : 1). Daun mangga mewakili warna hijau-hitam, 2). Daun durian mewakili warna putih, 3). Daun langsat mewakili warna kuning, 4). Daun manggis mewakili warna merah, dan 5). Daun salak mewakili warna brumbun. Kelima macam warna daun ini dipergunakan sebagai simbul dari Panca Dewata yaitu warna hitam adalah warna dari Dewa Wisnu, putih adalah Iswara, kuning adalah Mahadewa, merah adalah Brahma dan brumbun (Panca warna) adalah Siwa. Namun demikian, masih banyak yang mempergunakan jenis daun yang lain untuk mewakili kelima daun tersebut seperti daun rambutan, endongan dan sebagainya tanpa mengurangi makna simbolik yang terkandung didalamnya. Karena selain berpatokan pada tattwa setiap upacara juga selalu berpatokan pada Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (Kondisi).

6. Gantusan yaitu yang dibungkus daun pisang (2 bungkus). Yang masing-masing diisi dengan segala jenis ikan teri, bumbu (yang melambangkan isi darat dan laut) serta biji-bijian (5 macam) yang mempunyai warna (hitam, putih, merah, kuning dan campuran).

7. Pisang mentah, ditinjau dari segi warnanya adalah hijau/hitam. Dalam tandingan melambangkan jari.

8. Tingkih dari segi warnanya adalah putih yang melambangkan kesucian.

9. Pangi dari warnanya adalah merah, dalam tandingan pangi ini melambangkan dagu.

10. Base/sirih tampel menyimbolkan orang yang sedang sembahyang.

11. Penggunaan Benang dalam setiap pelaksanaan upcara keagamaan memiliki makna simbolik sebagai tali penghubung antara yang memuja dan yang dipuja, sebagai pengikat spiritualitas kita dan juga pada upakara-upakara tertentu benang melambangkan usus.
Banten peras
Misalnya Banten Peras, Banten ini lambang perjuangan dan doa untuk mencapai sukses dalam hidup kita. Saya yakin di dunia ini tidak ada manusia yang normal yang tidak ingin sukses dalam hidupnya.
Banten Penyeneng
Banten Penyeneng ; adalah suatu jenis Banten yang berbentuk Sampian dengan tiga kojongnya. Banten Penyeneng itu melambangkan konsep hidup yang seimbang, dinamis dan produktif itu harus diupayakan dan didoakan dengan lambang Banten Penyeneng. Konsep hidup yang ideal itu harus selalu berupaya untuk menciptakan sesuatu yang patut diciptakan, memelihara sesuatu yang patut dipelihara dan meniadakan sesuatu yang patut ditiadakan. Ada beberapa jenis Penyeneng dengan berbagai variasi sesuai dengan kreativitas seseorang, namun dalam Penyeneng itu ada hal yang bersifat esensial dan substantif. Yang esensial dan substantif itu ada tiga makna yang disimbulkan oleh Banten Penyeneng itu adalah adanya tepung tawar suatu unsur banten yang dibuat dari tepung beras, kunir dan daun dapdap. Tepung tawar ini adalah lambang dari keseimbangan hidup. Hidup yang seimbang adalah hidup yang memperhatikan adanya hukum Rwa Bhineda. Kecuali Hyang Widhi Wasa yang tidak kena hukum mini. Ada siang ada malam, ada senang ada sedih, ada lahir ada batin, ada sosial ada individu dan seterusnya. Hidup yang seimbang adalah hidup yang selalu mengupayakan adanya keseimbangan itu sendiri. Unsur bija dalam banten penyeneng itu lambang bibit sumber kreativitas. Dalam Penyeneng juga digunakan Nasi Segau yang artinya sebagai suatu kekuatan yang harus ditumbuhkan dan dimohonkan kepada Hyang Widhi Wasa agar kita dapat menghilangkan sesuatu yang patut dan wajib dihilangkan. Meskipun wujud banten penyeneng itu sangat lokal Bali namun makna yang dimuat sangat universal. Memang hidup yang ideal adalah hidup yang penuh dengan kreativitas untuk menciptakan, memelihara dan meniadakan yang patut diciptakan, dipelihara dan yang patut ditiadakan.

Banten tulung
Banten tulung adalah banten dengan tiga kojong juga berisi nasi dengan lauk-pauk dan Rerasmen. Umat Hindu umumnya terutama perempuan dari kaum wanitanya sangat terampil membuatnya namun yang penting disii adalah apa makna dari Banten Tulung tersebut. Dalam bahasa Bali kata "tulung" berarti tolong menolong. Manusia disamping sebagai mahkluk hidup juga berdimensi sebagai mahkluk sosial. Salah satu ciri manusia sebagai mahkluk sosial memiliki kemampuan untuk melakukan kerjasama dengan sesamanya untuk mencapai suatu tujuan bersama.

Banten sesayut
Banten sesayut berasal dari kata Ayu yang juga berasal dari bahasa Sansekerta artinya hidup yang baik. Kata Ayu ini sudah mewarga kedalam bahasa jawa Kuno dan bahasa Bali. Dalam bahasa Bali kata Ayu inilah yang menjadi kata Rahayu yang artinya selamat. Jenis banten Sesayut itu ada ratusan jenis banten, ada Sesayut Purna Suka, Tulus Dadi, Tulus Ayus, Sida Purna, Pamiak Lara Melaradan dan lain-lain. Namun ada hal yang sama disini yaitu dasar sesayut yang disebut tatakan Sesayut yang wujutnya bulat yang dibuat dari daun kelapa yang sudah hijau. Bentuk bulat itu dibuat dengan cara "Maiseh" tahap demi tahap sampai membentuk bulatan. Bentuk alas Sesayut yang bulat inilah melambangkan bahwa perjuangan utnuk mencapai hidup yang sejahtera yang disebut Ayu itu tidak bisa dilakukan dengan ambisi tergesa-gesa. Perjuangan hidup itu harus dilakukan dengan bertahap seperti kulit Sesayut tersebut yang bentuknya bulat bertahap. Keselamatan hidup di dunia ii harus dicapai melalui perjuangan hidup yang bertahap

Demikianlah arti dan makna dari beberapa jenis banten yang membentuk banten Tataban Alit. Semua bentuk banten itu memang sangat lokal tradisional, namun nilai-nilai yang dikemas oleh bentuk lokal tradisional itu adalah nilai-nilai hidup yang universal glogab.

1 komentar:

  1. PROMO MEMBER BARU ZEUSBOLA 15%

    ZEUSBOLA MERUPAKAN MASTER BANDAR AGEN TARUHAN JUDI BOLA DAN TARUHAN YANG SANGAT LENGKAP
    SLOT ONLINE DAN GAME ONLINE LAINNYA, CUKUP DENGAN 1 USER ID SAJA ANDA SUDAH BISA BERMAIN RIBUAN GAME YANG ADA DIZEUSBOLA

    ♦TERSEDIA DEPOSIT BANK, OVO GOPAY DANA DAN PULSA TANPA POTONGAN RATE♦

    CUKUP 25 RIBU BOSQ


    UNTUK LEBIH LANJUT SILAHKAN HUBUNGI KAMI DI :
    WHATSAPP :+62 822-7710-4607
    TELEGRAM :Zeusbola
    LINE : zeusbola


    BalasHapus